Sabtu, 22 Desember 2007

BASAH DAN KERING

Basah dan kering merupakan dua kata yang bertentangan, sering dijadikan simbol atau lambang kemakmuran dan kesengsaraaan. Terutama yang berkaitan dengan posisi, jabatan, kewenagan dan kekuasaan. Pada konteks birokrasi publik tempat yang basah merupakan analogi dari kewenagan yang besar dan dapat digunakan untuk mendapatkan hasil atau keuntungan untuk privat atau kelompok tertentu yang tidak dimiliki pada posisi atau jabatan lain meskipun tingkat eselon atau neveleringnya sama.

Dalam birokrasi yang patrimonial dan mengembangkan sistem yang feodal maka yang dituntut bagi pejabat pada tempat yang basah adalah loyalitas. Konotasi loyalitas yang seharusnya kepada pekerjaan atau masyarakat yang dilayani justru diabaikan atau dinomorsekiankan, karena yang pertama dan yang utama adalah loyalitas kepada pribadi-pribadi pejabat ” yang mempunyai kewenagan dan kekuasaan” untuk memberikan jabatan, melindungi atau melanggengkan suatu jabatan.

Pejabat-pejabat pada posisi basah ini tentu merupakan tanaman keras dari para pimpinan yang dibangun dengan hubungan-hubungan personal. Dasar penunjukannya adalah subyektif bukan berdasarkan prestasi kerja tetapi suka-suka atau tingkat loyalitas kepada pimpinan. Tentu orang-orang yang menjabat pada posisi ini akan merasa hutang budi dan dituntut untuk mampu menunjukan loyalitas dan pelayanan yang istimewa kepada pejabat yang telah menunjuk atau yang memberi kepercayaan untuk duduk di kursi jabatan basah tersebut.

Dalam birokrasi publik yang mengutamakan service kepada publik tentu bukan untuk provit, namun pada jabatan basah tadi justru menjadi provit dengan topeng servicenya tadi. Hal ini justru menjadi kebanggaan dan harapan banyak orang ingin menduduki jabatan itu. Ini yang aneh bahkan mengherankan core value yang tumbuh dan berkembang betul-betul bertentangan atau bahkan menyimpang dari yang ideal.

Heranya, justru dibangga-banggakan dan untuk mencapai posisi atau jabatan basah harus dengan perjuangan mati-matian, kasak-kusuk, mungkin juga membayar untuk modal dasar. Wah sudah seperti orang berdagang saja. Ya pasti. Untung rugi inilah yang dijadikan acuan atau pedoman atau kerangka berpikirnya. Ada istilah yang berkembang” jabatan itu merupakan kesempatan emas dan tak berulang dua kali” maka manfaatkan sebaik-baiknya.

Tak jarang bila dengan jalan formal atau kedinasan atau pendekatan kepada pejabat yang menentukan dianggap kurang kuat atau kurang yakin, maka jalur informal inilah yang jadi pilihanya. Lewat keluarganya (istri, anak, menantu, orang tua, kakak, adik, paman, bibi, pakde, paklik, simbah, ponakan dsb) ini juga akan menjadi linking pin atau tim sukses. Tentu ini tidak gratis mereka-mereka ini jelas harus kecipratan atau diciprati dulu sebagai tanda loyal dan tanda jadi untuk mendukung. Yang nantinya bila telah menjabat tidak melupakan jasa-jasa dan ada balas budi yaitu cipratan-cipratan tadi.

Cipratan adalah kena air yang sedang mengalir atau dari kubangan yang membuat orang yang kena air itu basah. Tentu kena airnya itu bukan alami tetapi disengaja atau karena sesuatu. Misalnya memang disiramkan, atau ada kegiatanatau tindakan ditempat yang basah sehingga airnya muncrat dan mengenai apa saja yang ada di sekelilingnya.

Bagi pejabat di tempat atau posisi yang basah wajib hukumnya untuk menciprati atau niprati bagi pejabat lain khususnya yang di atas sedangkan yang di samping atau yang di bawahnya ya tentu tidak sekencang untuk yang atas. Yang di sampin dan yang di bawah itu ya sak kenanya atau sak dremo teles tapi ora kebes (sekedar basah tetapi juga tidak kuyup). Untuk yang atas hukumnya wajib bila tidak kecipratan tentu akan merasa panas dan timbulah berbagai tuduhan dan fitnah yang kejam bahkan di luar perikemanusiaan. Dan untuk yang sampin dan bawah tentu seingatnya. Karena yang di sampin dan bawah ini sekedar untuk menunjukan kedermawanan atau caritas atau sedekah bagi yang duafa atau kurang basah.

Semua tuntutan atau permintaan yang atas pasti segera dipenuhi atau setidaknya diupayakan mati-matian karena kalau tidak keturutan atau tidak memuaskan maka dicaplah prejabat tadi tidak loyal.yang dianggap tidak loyal akan disisihkan ataub akan disengsarakan atau bahkan dimatikan. Pejabat yang berkuasa ibarat ”idu geni sopo sing didilat mati opo sing didawuhake kudu dadi” ibarat ludah api siapa saja yang dijilat maka akan mati dan apa yang diperintahkan harus terjadi atau terlaksana. Apapun yang terjadi yang penting pimpinan tidak menegur atau tidak marah. Tak peduli orang banyak kesusahan atau mungkin mati tak lagi dipikirkan.

Bagi yang mendapat tegoran apalagi menimbulkan konflik yang melibatkan pimpinan, maka yang bersangkutan dianggap tidak mampu menjaga atau melaksanakan kebijakan pimpinan. Tentu yang kecil, yang lemah dikorbankan untuk melindungi pimpinan atau kesatuan atau harga diri dan martabat institusi. Kalau sudah dilabel tidak becus atau tidak mampu mengamankan atau menjalankan kebijakan pimpinan tentu akan ditendang. Dan nendangnya sak kenanya dan sak maunya. Inipun terjadi karena balas dendam.

Balas dendam bagi pejabat yang pada posisi basah bisa terjadi bila yang bagian samping atau bawah atau pejabat lain yang tidak dianggap penting ini naik tahta dan berkuasa maka ia akan mencabut semua rumput yang dianggap ilalang. Yang dulunya melupakan, menciprati semaunya atau bahkan tidak mencipratinya sama sekali. Dan anehnya diganti dengan orang-orang yang dianggap loyal dan mampu bermain air di tempat yang basah tadi dengan ciprat-cipratan. Bila pejabat ini turun maka akan terulang kembali pola peneunjukan orang-orang yang akan menduduki jabatan basah itu. Balas membalas ini sudah menjadi kebiasaan yang terpola dari waktu ke waktu.


Mengapa posisi atau jabatan basah ini menjadi rebutan atau idaman atau harapan bagi semua orang ? karena di jabatan yang kering tidak mempunyai kewenganan atau kekuasaan yang dapat digunakan dengan salah atau disalah gunakan demi keuntungan atau pendapat yang berlimpah ruah, walaupun pekerjaan yang dilakukan itu mulia dan besar jasanya bagi hidup dan kehidupan manusia. Tetapi tentu dianggap kerja konyol, sia-sia dan tak ada gunanya karena tidak menghasilkan dan dianggap sepele atau bahkan dianggap sampah oleh pimpinanya.

Di tempat-tempat yang kering inilah tugas dan kerjaan yang sebagaimana seharusnya justru dikesampingkan dan dianggap tidak penting. Anggapan yang beredar dan berkembang adalah percuma kalau hanya banyak pendapat tapi pendapatan kurang. Ini memang aneh, aneh bin ajaib. Yang betul kalau tidak umum maka dianggap salah dan yang salah bila sudah menjadi keyakinan orang banyak itulah yang benar.

Di tempat-tempat kering biasanya kinerjanya rendah, layu bagai tak akan ada harapan untuk tumbuh dan berkembang, masa depan suram. Dan isinya orang-orang buangan atau orang yang penuh masalah. Sehingga mereka hanya bisa pasrah dan menunggu perintah inipun tidak bisa juga diselesaikan karena rendahnya kemampuan dan lemahnya kinerja. Orang-orang di tempat kering ini hanya grundelan, memandang kenikmatan di tempat basah.mereka banyak bermimpi, berangan-angan sebagai ungkapan keputusasaan, mungkin juga menjadi ekstrim atau selalu menjadi oposisi.

Adanya jabatan basah dan kering menunjukan birokrasi yang korup atau birokrasi yang merupakan kerajaan pejabat (official doom).Birokrasi milik pejabat dan bagi yang tidak menjabat akan menjadi sampah, bagi yang tidak loyal akan dibuang, ditendang bahkan kalau dianggap mengancam atau mengganggu bisa jadi dimatikan.bukan hanya dalam kariernya saja tetapi juga hidup dan penghidupanya. Dalam birokrasi model ini yang dipentingkan loyalitas bukan kinerja. Status disamakan ” baik jelek sama saja” yang penting siapa yang dekat pimpinan itu yang bagus dan yang tidak dikenal pimpinan ya jangan harap mendapat jabatan basah.

Kalau kita bertanya mengapa bisa demikian? Siapa yang salah ? akankah ini dapat berubah atau justru akan semakin parah?

Pejabat boleh silih berganti. Musim bisa saja terus berlalu dan berganti, namun bila nilai-nilai yang diyakini masih pada yang duniawi, yang materi, tanpa kesadaran, keberanian serta kerelaan dari yang berkuasa dan yang mempunyai kuasa untuk berubah atau mulai perubahan maka jangan harap ada titik terang, yang muncul justru sebaliknya kegelapan yang semakin kelam dan mendalam dan tak tahu ujung tujuan. Tauaian akan hanya hujatan dan cacaian, sumpah serapah. Kalau juga semua itu tetap dianggap biasa-bisa dan penguasanya juga orang-orang yang sudah terpola untuk basah dan kering.....entahlah......kutukan apa lagin akan menimpa......karma apa yang harus di derita.......allahualam.............................................................................................................

Jakarta 26 Maret 2007

1 komentar:

Den_Cimpluy mengatakan...

Rarely I read this article written by a top police officer.

Tetap berpegang teguh pada prinsip Pak Chrys. Manusia terhormat karena berprinsip dan menjadi hina karena melacurkan prinsip. Perbaikan kepolisian dari dalam oleh seorang polisi yang memegang keputusan sangat efektif dan dasyat dampaknya baik bagi Polisi maupun masyarakat.

Salam kenal,
Sopian
(Alumni Wollonggong University jurusan Forensic Accounting)