Sabtu, 22 Desember 2007

KEPADA YANG TELAH MENINGGAL DAN YANG HIDUP KITA HARUS MENJADI SAKSI
IN MEMORIAM PROFESOR PARSUDI SUPARLAN, PhD

Chryshnanda DL

For the dead and the living we must bear witnessSepenggal kata mutiara Kesukaan Profesor Parsudi Suparlan Kepada yang telah meninggal dan yang hidup kita harus menjadi Saksi akan kebenaran dan keadilan serta kemanusiaanProfesor Parsudi Suparlan merupakan sosok yang unik sulit ditebak apa maunya, pekerja keras dan berpenampilan nyentrik, mungkin mirip seniman daripada ilmuwan. Rokok Kretek Gudang Garam Merah kesukaanya tidak pernah lepas dari jarinya, sambil membaca atau sambil menulis, asap rokok itu terus ngepul. Merokok merusak paru-paru tetapi tidak merokok merusak pikiran, kata para perokok berat. Saya pertama melihat Profesor Parsudi saat memasuki kuliah perdana di Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) Universitas Indonesia (UI) tahun 1999, pada mata pelajaran penelitian kualitatif. Saat itu saya tidak mengenal siapa beliau, hanya sosok orang tua berambut putih dan berpakaian sederhana dengan tas hitam di tangan sambil memainkan rokok. Setelah memberi pelajaran beliau memberi kesempatan bertanya saya mengangkat tangan untuk bertanya dan mengungkapkan pendapat saya tetapi apa jawab beliau : “Saudara sudah membaca belum? Kalau belum baca dulu baru bertanya?”. Saya terheran-heran apa maksudnya tapi saya diam saja, dan saya mulai bertanya-tanya siapa Parsudi Suparlan dengan almarhum Thamrin Hamdan yang mantan murid beliau di Antropologi. Dari almarhum Thamrin inilah saya sedikit tahu tentang sosok Parsudi Suparlan. Saya harus hati-hati dan siap pada pelajaran beliau pikir saya, daripada kena semprot lagi.Pada suatu kesempatan saya mengantar teman saya yang diwajibkan untuk bimbingan dan mendapatkan pelajaran tambahan di rumah beliau di komplek Dosen UI – Ciputat Blok K No. 25. Rumah ini agak rimbun karena banyak pohon dan singup (sedikit angker) lebih mirip rumah dukun daripada rumah ilmuwan dalam hati saya. Ternyata di dalam rumah banyak mahasiswa S2 dan S3 yang sedang bimbingan dari berbagai fakultas dan kajian. Kami berdua dari KIK – UI diam saja duduk agak di luar,tapi beliau menyilakan kami untuk masuk dan bergabung sambil diskusi berbagai masalah. Sejak hari itulah maka hampir setiap Minggu saya datang ke rumah beliau minta bimbingan dan arahan, karena kebetulan beliau pembimbing tesis saya. Dalam mengikuti bimbingan, seperti antri untuk diperiksa dan melaporan hasil penelitiannya. Tatkala saya melaporkan hasil penelitian, kurang lebih seratus halaman yang saya tumpuk di meja karena beliau akan berangkat penelitian ke Sambas. Saya berharap untuk mendapat arahan dan mungkin pujian, tetapi beliau tidak mengoreksi dan hanya menulis di halaman sampul depan : Tulisan ini seperti tulisan dinas. Mana pelaku pelakunya. Saat itu saya bingung dan teman-teman se bimbingan dengan saya bersorak mengolok. Saya jadi pusing juga apa maksudnya. Saya perbaiki laporan tersebut dan minggu berikutnya beliau bisa menemui kami dan menjelaskan maksudnya. Dalam proses penulisan tesis, saya merasa betul perhatian beliau diobrak-abriknyalah karya saya, kalau dihitung sejak awal sampai akhir disetujui untuk ujian tiga puluh dua kali perbaikan. Saya menyadari berat betul mengikuti pemikiran dan cara berpikirnya yang holistik dan dalam menulis dalam kalimat harus berisi konsep-konsep mendasar dan berlaku umum. Namun beliau tetap sabar dan terus mau membantu dan mengarahkan, kadang saya heran pada tindakan Prof. Parsudi. Ada teman saya yangmenurut penilaian saya asal-asalan tetapi oleh Prof. Parsudi didiamkan saja, beliau langsung setuju dan menandatanganinya. Suatu ketika saya beranikan bertanya :”Prof mengapa tulisan teman saya yang kurang pas, profesor diam saja tidak banyak kritik atau saran perbaikan?”. Beliau menjawab sambil tertawa gaya khas Parsudi Suparlan yang pendek-pendek : “ Saudara ini mau tahu saja, kalau saya mau menyalakan api pakai korek api batangan yang saya colek itu sabun ya percuma malah batang korek saya yang rusak”. Dari situlah saya memahami kalau beliau itu memang guru yang tahu karakter murid-muridnya. Dan beliau mencoba mencari sesuatu yang pas sesuai minat dan bakatnya sehingga apa yang disarankan dapat ditangkap dan dikembangkan, tidak semua bisa dipaksakan.

******

Pada suatu ketika saya datang ke komplek dosen UI, di Ciputat Blok K No. 25, saya mendapati beliau sedang bersih-bersih dan mengeluarkan koleksinya. Hari itu kami tidak bimbingan tetapi ceritera koleksi-koleksi beliau dari perangko, uang kuno, barang-barang antik sampai jimat dan hal-hal yang gaib. Kami asyik bercerita pengalaman kami masing-masing dan beliau ternyata juga percaya kalau di perpustakaannya ada yang menjaga, perempuan. Dan untuk penjaga itu beliau selalu menyediakan air putih yang ditaruh di salah satu sudut di antara buku-buku. Banyak murid-muridnya yang ketakutan atau diganggu bila tidak berkenan atau tidak diingini oleh penjaga itu, entah dicolek, entah didorong. Saya pun waktu itu juga pernah melihat dan mengalami sendiri saat kami sedang bimbingan malam hari, kebetulan waktu itu malam Jum’at, saat teman saya Iman Sumantri menceriterakan hasil penelitiannya dengan lagak seperti Sherlock Holmes tiba-tiba kotak di atas rak buku itu terjatuh di depan teman saya dengan suara yang keras seolah-olah ada seseorang yang membantingnya. Saat itu Profesor hanya senyum-senyum sambil berkata:” Saudara sih suka tidak serius kalau bekerja”.Perangko kuno koleksinya, waktu itu (tahun 2000) ada yang bernilai 16 juta Rupiah dan berbagai uang emas peninggalan jaman Mojopahit. Koleksinya yang lainya berupa perabotan, patung, ukiran, hiasan dinding di rumahnya menunjukkan keunikan dan kecintaannya akan benda-benda antik atau yang berbau etnik. Semua barang dipajang dan dijajar dimana-mana karena banyaknya dan sempitnya ruang sehingga terasa sesak, karena 80% rumah beliau adalah perpustakaan, buku berserakan di sana-sini. Bahkan teman saya Bakharudin menganggap barangnya Prof.Parsudi kok tidak mbejaji (barang murahan). Padahal itu barang antik yang bernilai seni tinggi.Sambil ceritera barang antik dan benda-benda kuno beliau tanya hobi saya. Saya jawab:”melukis Prof”. Di rumah beliau ada lukisan naturalis karya profesor Koentjaraningrat. Tak lama kemudian beliau berkata :”Kalau begitu coba ini dilukis” kemudian beliau menulis : For The Dead and the Living We Must Bear Witness. Dan ada satu lagi tapi saya lupa....., “maaf ya Prof saya juga mulai pelupa”. Saya mencoba membuat sketsa yang terinspirasi kata-kata beliau. Kurang lebih dua minggu saya dapat menterjemahkannya : Kepada yang telah meninggal dan yang hidup kita harus menjadi saksi, yaitu saksi : kebenaran, kadilan, kemanusiaan dan juga sebagai manusia tidak hanya menggunakan mata kepala tetapi juga mata hati dan Tuhanlah yang memimpin kita. Saya sebetulnya ingin memberi beliau lukisan yang besar tetapi karena kondisi rumah tidak memungkinkan maka saya membuatnya dalam ukuran kecil. Saya melukis ulang dengan tema yang sama dalam ukuran besar yang saya pajang di rumah saya.Setelah lukisan jadi saya agak ragu apakah Prof Parsudi senang dengan gaya lukisan saya?. Saya agak takut dan malu maka lukisan tersebut saya titipkan teman saya Tomsi Tohir. Dan setelah melihat lukisan saya ternyata beliau senang dan di pajang di atas tv ruang kerja beliau. Rasa hati saya plong dan bangga ternyata Profesor juga bisa mengagumi dan menerima gaya lukisan saya. Bahkan dipamer-pamerkan kepada murid-murid yang lain : “ini yang melukis polisi”. Saat itu saya melihat buku corat-coret Koentjaraningrat, di dalam buku itu ada foto Parsudi Suparlan muda sebagai mahasiswa jurusan antropologi angkatan pertama, tanpa sengaja saya dan mahasiswa yang sedang bimbingan di rumah beliau tertawa terbahak-bahak melihat gaya Parsudi muda dalam buku itu. Salah satu dari kami ada yang nyeletuk : ”wah ganteng juga ya”. Tiba-tiba beliau menjawab : ”E ...saudara kalau sudah tua ya peot dan ketuaan ini tidak bisa dihindari, saudara yang sekarang cantik, gagah, suatu ketika akan peot seperti saya hik-hik hik”. Beliau tidak marah tetapi mengingatkan kita untuk siap jadi tua peot, dan sakit-sakitan.

******
Ceritera tentang kesehatan dengan beliau ternyata asik juga. Salah satu hobi beliau adalah meramu obat-obatan sendiri. Berbagai daun dijadikan satu dalam panci yang digodog sampai berwarna coklat tua kehitaman. Dari mahkota dewa, sirih merah, broto wali, imbau, jahe merah, kunyit dan macam-macamlah, sayapun pernah disuruh icip dan rasanya waduh sak tenggorokan kaya ketempelan empedu kuda, pahitnya bukan main. Beliau tetap tenang sambil berkata:” ini obat ya begitu rasanya biar pahit tapi besar khasiatnya”. “Siap Prof” jawab saya, karena tidak ada jawaban lain yang pas kecuali kata siap tadi.Sayapun diberi bibit mahkota dewa, pace, broto wali, sirih merah, dan dilem (bahan untuk minyak wangi). Daun Dilem pada jaman dahulu digunakan untuk mencuci kain batik. Bahkan ada tanaman uwi sejenis ubi yang bisa besar dan manis. Prof Parsudi memberi bibit itu untuk saya tanam dan dijadikan obat karena ibu mertua saya juga penderita kencing manis dan bapak saya juga meninggal akibat penyakit yang sama. Semua pohon itu hidup dan berkembang biak banyak sekali terutama sirih merah. Suatu ketika Iman Sumantri yang sering kami panggil Triman bersama saya mengajak Prof Parsudi untuk berobat ke para normal di daerah jalan Bangka. Saya juga heran waktu itu beliau nurut saja. Anehnya para normal yang didatangi mengatakan bahwa Prof Parsudi tidak sakit gula hanya ada sedikit gangguan entah di bagian apa saya tidak dengar. Dan disarankan untuk beli ramuan obat khas para normal. Sepanjang jalan sampai di rumah beliau kami tidak membahas masalah kesehatan dan kami juga saling diam.Saya berulang kali diminta teman-teman untuk menyarankan Prof Parsudi agar mau berobat atau setidaknya check up. Saya tahu betul watak beliau yang keras dan tidak mau kalau dibilang sakit, walaupun sering sakit perut atau asam uratnya kambuh. Pada saat bimbingan disertasi saya pernah khawatir karena Prof Parsudi kelihatan lelah, pucat dan nampak tidak sehat. Saya memberanikan diri bertanya :”Prof sehat kan? Jangan sakit terus Prof...” saya mau melanjutkan ke khawatiran saya tetapi tidak jadi. Ternyata beliau sudah menangkap : “ yang mau mati itu siapa? Saudara orang hidup itu harus punya semangat hidup yang tinggi seperti James Bond, Life and Still Life”. Waduh, bapak ini kalau pelajaran penelitian kami disarankan untuk membaca tulisannya Irfing Copy tentang Sherlock Holmes, begitu tentang hidup James Bond acuannya.

******
Sejak tahun 2001 setelah lulus dari S2 KIK UI saya diminta beliau untuk menjadi asistennya untuk pelajaran Hubungan antar-sukubangsa dan Seminar usulan penelitian. Tak terbayang bagi saya yang dari kelompok bermain menjadi kelompok belajar. Tatkala masuk kelas mendengarkan Profesor mengajar enak juga seperti kuliah tapi tanpa beban, dan seakan ilmu yang dulu tidak nyambung sekarang jadi lebih jelas. Memang menjadi asisten juga belajar, seperti nonton orang main catur, yang nonton tidak stress tetapi justru tahu banyak. Suatu ketika saya diperintahkan masuk kelas terlebih dahulu karena beliau ada urusan lain. Pada saat di tengah jalan mengajar beliau datang masuk kelas, tidak duduk di depan kelas tetapi duduk di antara mahasiswa. “ Ya saudara teruskan gantian sekarang saya yang mendengarkan”. Wah rasanya panas dingin keringat sak jagung-jagung, kalau ini asal njeplak beliau pasti marah dan kalau tidak jelas pasti kena semprot. Hati saya tenang-tenangkan,....harus tenang, tenang ...ternyata belum tenang...mau tertawa saya waktu itu kok tiba-tiba jadi grogi. Namun saya sebagai polisi yang sering menghadapi gali (kelompok preman) kembali percaya diri saya timbul dan dengan lantang saya lanjutkan hingga akhir pelajaran. Ternyata Prof Parsudi tidak marah malah saya dipuji-puji. Mungkin beliau tahu agar saya tidak berkecil hati dan saya tetap bersemangat.Ketika beliau pulang dari Amerika beliau mengecek tentang pengetahuan mahasiswa KIK angkatan 6 tentang usulan penelitian ternyata hasilnya kacau. Beliau marah besar kepada saya: “apa yang saudara ajarkan? Saudara diberi honor mengajar untuk membuat mereka pandai, ini harus saudara pahami, ini bukan main-main”. Wah rasanya dongkol, dalam hati saya berkata: ”yang bodoh mahasiswa kok saya yang disalahkan”. Tetapi saya berusaha memahami dan berupaya supaya mahasiswa memahami. Dan saya minta waktu untuk mengecek usulan penelitian mahasiswa KIK angkatan 6 dari jam 09.00 sampai jam 18.30. Satu persatu saya cek, Panca Simanjuntak sebagai juru bacanya untuk membaca buku tulisan Prof Parsudi yang terus diulang-ulang. Dan hasilnya cukup memuaskan saat ujian seminar usulan penelitian semuanya lulus dan ada dua orang yang dinilai C+ oleh beliau.Pada saat pelajaran Ilmu Kepolisian saya kebagian untuk mengajar, tetapi saat itu saya tidak bisa hadir karena tugas dari kantor yang bersamaan waktunya. Prof. Parsudi marah besar kepada saya dan disampaikan oleh Dian (staf YPKIK) melalui SMS. Saya dianggap lupa diri, dianggap sudah menjadi pejabat dan merasa jadi bos tidak lagi mau mengajar, tidak peduli terhadap almamater. Beliau juga menyampaikan bahwa di luar negeripun ada kegiatan balas budi atau mengembalikan apa yang diperolehnya, kalau dari universitas ya balas budinya mau mengajar. Saat itu saya juga sedang menghadapi masalah tentang apa yang saya kerjakan dalam tugas kepolisian dituduh oleh pimpinan dan rekan-rekan polisi lainnya, kalau terlalu banyak teori, tidak bisa di lapangan, maunya tempat yang dingin terus dan masih banyak makian lainnya. Bahkan orang-orang Cina sahabat pimpinanpun ikut menghujat saya. Spontan saya juga jengkel dengan Prof. Parsudi. Saat bertemu dengan Prof. Parsudi, saya komplain dan ngomel-ngomel kepada beliau : “Prof, saya ini golongan OB (office boy), wajah saya itu wajah pesuruh jadi saya ini cuma disuruh sana, disuruh sini. Saya ini memang dibutuhkan tetapi tidak diinginkan. Jadi bukan pejabat, bukan juga bos tetapi bas yang dalam bahasa Manado berarti tukang”. Prof.Parsudi hanya senyum-senyum dan malah memberi tugas saya untuk menulis.Menjelang ulang tahun Profesor Mardjono Reksodiputro ke 70 saya mengusulkan untuk membuat buku yang berisi kumpulan tulisan dari mantan murid-muridnya. Hampir mendekati hari ulang tahun Profesor Mardjono tetap saja belum ada yang mengumpulkan tulisan. Pada suatu pagi Prof. Parsudi menelpon saya:” Saudara Chryshnanda katanya mau membuat buku untuk Profesor Mardjono, saya sudah menulis”. “Siap Prof. Teman-teman saya hubungi. Apakah buku kado diberikan setelah ulang tahun atau saat ulang tahun?”. “ Ya saat ulang tahunnya, ini kado ulang tahun, lucu kalau diberikan setelah ulang tahun”. Saya ingat betul waktu ulang tahun Profesor Mardjono tinggal satu minggu lagi, bagaimana mungkin? Daripada mengecewakan beliau tanpa pikir panjang langsung saya jawab : “Siap Prof saya usahakan”. Saya sungguh pontang-panting menelpon ke sana kemari untungnya buku tersebut jadi tepat waktunya. Dan dapat diserahkan saat perayaan hari ulang tahun Prof. Mardjono ke 70. Maaf Prof. Kalau semua serba cepat dan instan, tapi bekerja under presure kadang juga memotivasi kita untuk bekerja cepat. Kebahagiaan itu buah sesuatu, bukan sesuatu, setelah buku itu selesai rasa lega dan bahagia Profesor Parsudi nampak, walaupun masih banyak kekurangan di sana-sini.

*******
Sebagai asisten dosen beliau saya berupaya untuk meningkatkan kemampuan saya di bidang akademik. Saat saya menyampaikan kepada beliau untuk melanjutkan studi ke jenjang S3 di KIK UI beliau sangat antusias dan mendukung : ”Saya bersedia menjadi promotor saudara”. Bangga betul rasanya ada profesor yang sudi memperhatikan dan mendorong saya. Jujur secara pengalaman, secara intelektual saya semua serba terbatas dan saya bukan golongan orang yang dipandang pandai baik di lingkungan keluarga maupun teman seangkatan di Akpol. Tetapi dengan penuh kesabaran dan keyakinan Prof. Parsudi meyakinkan saya bahwa saya mampu untuk menempuh pendidikan S3: “Sebelum umur 40 tahun saudara harus sudah doktor, umur diatas 40 tahun biasanya sulit dan sudah banyak saraf yang rusak”. Mulailah saya membolak-balik buku-buku penelitian, buku-buku pelajaran yang berkaitan dengan ilmu kepolisian. Masalah kinerja di lingkungan personel yang akan saya angkat khususnya yang berkaitan dengan rekruitment. Selama kurang lebih 6 bulan saya mencatat, mendengarkan, melihat tindakan-tindakan para petugas polisi dalam menangani perekrutan. Semua saya catat dengan rapi dan siap saya jadikan tema penelitian saya. Saya sampaikan berulang kali kepada Prof. Parsudi tetapi beliau tidak tertarik bahkan seolah enggan mendengarkan. Saat yang ke enam beliau mengatakan: “Saudara, ini berbahaya, karena menyangkut para petinggi Polri”. “ Saya usahakan tidak menyangkut mereka Prof”. “Ya tetapi ini berbahaya, datanya saudara simpan dan suatu ketika setelah saudara cukup kuat keluarkan itu semua. Dan carikan teori yang relevan untuk mengkajinya”. Sedih rasanya ditolak, dalam hati saya ingin berteriak :” ini salah satu penyebab rusaknya Polri”.Sebulan kemudian saya mengikuti ujian seleksi untuk studi banding di kepolisian Jepang, dan saya dinyatakan lulus. Saat di Jepang saya bingung dalam kegiatan sehari-harinya hanya ditunjukkan ini, itu dan berbagai kegiatan, padahal di akhir seminar kami diwajibkan menghasilkan suatu produk. Iseng-iseng saya mengirim email ke Prof. Parsudi, saya ceriterakan apa yang saya alami. Beliau menjawab dalam email: semua baik-baik saja. Saudara Yoyon Haryono (mahasiswa KIK angkatan ke 6) meninggal dunia. Agar saudara dapat menghasilkan produk, maka saudara harus mengetahui pedoman-pedoman yang mereka gunakan. Jawaban singkat tersebut selain menggembirakan karena saya terinspirasi akan mampu membuat produk dari studi banding, tetapi juga sedih karena teman saya meninggal dunia di usia yang relatif muda. Kebetulan almarhum Yoyon Haryono adalah teman satu angkatan saya di Akademi Kepolisian.Setelah pulang dari Jepang beliau sangat bahagia saya beri satu copy hasil studi banding. Dan saat akan mengajar di PTIK saya ceritera kepada beliau kalau rencana usulan penelitian saya adalah tentang community policing. Tanpa pikir panjang beliau langsung berkata:”Setuju, segera buat, nanti saya koreksi”. Legalah hati ini rasanya plong, seolah rintangan pertama sudah dapat saya lewati. Dengan penuh semangat rencana usulan penelitian saya buat dan saya serahkan beliau. Di kritik dan di koreksi berkali-kali, hingga akhirnya saya dinyatakan diterima sebagai mahasiswa S3 KIK UI angkatan ke dua bersama empat mahasiswa lainnya.

******
Menjadi mahasiswa S3 di KIK – UI ternyata tidak seindah warna aslinya, penuh ketegangan, stres, banyak sekali maunya para dosen. Oleh teman dan seniorpun jadi bahan cemoohan dan ejekan. Ada seorang pejabat di Mabes yang memvonis dengan mengatakan :” Berarti kamu sekarang sudah memilih jalur pendidikan”. Ada juga yang mecibir: “ Kamu itu polisi yang penting itu sekolah-sekolah dinas, buat apa S2, S3. Di Polisi yan penting operasionalnya, loyal dan menjabat pada posisi strategis”. Seorang senior yang sedang Sespim dengan bangga mengatakan : “ Sespim tidak perlu S2, S3 tetapi S2 dan S3 perlu Sespim. Lihat pimpinan-pimpinan kita tidak usah S2, S3 bisa juga dan lancar-lancar saja”. Hujatan, ejekan yang disampaikan langsung atau tidak langsung menuding atau memvonis saya sebagai pendosa dan dianggap menjadi ancaman bagi kemapanan atau keluar dari adat kebiasaan. Tidak semua menghujat, beberapa senior, teman-teman seangkatan maupun yunior saya banyak juga yang mendukung dan memotivasi saya untuk terus maju. Bahkan Prof. Parsudi pun ikut menguatkan : “ Saudara sekolah adalah untuk menjadi polisi yang baik dan pandai”.Prof. Parsudi di S2 sudah sedemikian angker ternyata di S3 semakin garang dan beliau sangat memegang prinsip yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan : ” Saudara, tentang apa saja saya bisa toleransi, tetapi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak bisa. Kalau saudara salah saya biarkan, saudara akan mengajari orang lain keliru. Saya yang berdosa”. Dalam membimbing maupun mengajar beliau sangat keras dan tegas. Pernah suatu ketika di kelas beliau mengatakan :” Sekarang saudara gantian yang ngomong jangan saya terus, ya ceriterakan apa yang saudara tulis”. “Mohon waktu prof”. “ Ya lima menit”. Beliau kemudian keluar dari kelas. Ketika kembali masuk ke kelas beliau bertanya : “Ayo siapa duluan?”. Kami yang hanya berempat terbengong-bengong mau menjawab apa karena tidak berani mengatakan dan tidak mampu mengungkapkan apa yang kami tulis dalam naskah. Saat itu Prof. Parsudi marah besar sambil menunjuk-nunjuk tangannya dari kepala ke meja sambil berkata: “Saudara tahu tidak menulis itu dari otak ke kertas bukan dari kertas ke otak”. Kami semua tersentak kaget dan beliau sepertinya enggan melanjutkan kuliah. Pada saat beliau marah besar apa yang dimauinya tertanam dalam benak saya dan menjadi suatu power penambah semangat, meskipun saat itu juga ketakutan. Mulai hari Rabu hand phone saya sudah off tidak mengudara. Persiapan untuk menghadapi pelajaran beliau di hari Jum’at. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk dapat berdiskusi dan mampu menjelaskan apa yang saya tulis dan harus siap dibantai. Hari Minggu saya bimbingan, banyak hal yang kami diskusikan mulai dari penelitian kualitatif, tentang kajian antar bidang dan berbagai masalah aktual yang sedang ditangani oleh Polri, seperti terorisme. Setelah selesai kuliah selama dua semester kami persiapan untuk ujian kualifikasi. Prof. Parsudi meminta saya untuk mengajukan usulan penelitian. Setiap kata dicek satu persatu, tiap-tiap konsep ditanya arti, makna dan teori yang relevan apa. “Saudara kalau mau menulis jangan asal tempel saja perhatikan maknanya. Cek dalam kamus bahasa Inggris, cari konsep-konsep dasarnya dan kemudian cari teori-teorinya atau pakar yang pernah membahas konsep itu. Setelah itu saudara hubung-hubungkan, temukan konsep baru yang menurut saudara. Jadi jangan asal kata si A, kata si B dan kata saudara sendiri tidak ada. Saudara jangan jadi penghafal teori orang atau jadi pengecer teori orang sedangkan saudara sendiri tidak menghasilkan teori. Membuat skripsi, tesis dan disertasi adalah menghasilkan teori”. Saya saat itu manggut-manggut saja antara nyambung dan tidak jelas, mau bertanya takut malah tambah diomeli. Namun dalam hati saya berjanji saya harus bisa. Itu tekad saya. Beliau pernah berkata kepada saya :” Yang penting saudara jangan marah dan jangan takut”. Jangan marah artinya Prof. Parsudi memang orangnya demikian keras bukan jahat tetapi untuk kebaikan dan mungkin bawaan oroknya. Jangan takut artinya adalah jangan menghindar atau pura-pura melupakan tugas-tugas yang diberikan kepada kita.Selesai ujian kualifikasi saya dinyatakan lulus dan saya persiapan untuk melakukan penelitian di Batang. Tetapi Prof. Parsudi belum melepas saya untuk berangkat ke Batang. Saya justru diberi tugas untuk menerbitkan Jurnal Polisi Indonesia edisi ke 5. Dan sayapun kebagian tugas untuk menulis tentang community policing. Di samping itu juga masih dibebani tugas untuk menyusun buku untuk pedoman bagi mahasiswa KIK, dan menterjemahkan buku Ensiclopedia of Police Science. Dengan bantuan rekan-rekan S2 KIK buku itupun mulai kami siapkan. Buku pedoman untuk mahasiswa S2 dan S3 KIK, saya siapkan bersama Edy Murbowo dengan mensortir dan mengumpulkan tulisan-tulisan dosen KIK yang pernah diseminarkan atau tulisan-tulisan lain yang relevan. Saat itu kami berdua mondar-mandir untuk memfotocopy dan membuat dami (draft buku) untuk diedit oleh Prof. Parsudi. Rekan kuliah dan senior saya Aris Budiman telah diijinkan untuk melakukan penelitian di Bangka Belitung, sayapun ikut mengantarnya. Setelah hampir dua bulan saya mulai resah dan protes ke Prof. Parsudi : “ Prof. Bang Aris sudah hampir dua bulan penelitian sedangkan saya masih mbulet saja di sini”. Prof. Parsudi mengatakan : “ ini menjelang Natal dan tahun baru mereka sibuk dan tidak dapat membantu saudara dengan baik, nanti saja setelah ini”. Mungkin karena kasihan melihat saya yang mondar-mandir dan Jurnal Polisi Indonesia sudah terbit serta buku-buku lainya sudah dalam proses akhirnya beliau mengijinkan saya berangkat ke Batang. Baru sampai di Batang beliau sudah menelpon saya :”saudara di mana?”. “Di Batang Prof”. “ Saudara cepat selesaikan, minggu depan ketemu saya”. Dalam hati saya bertanya :”apa yang mau saya selesaikan ini baru sampai sudah disuruh ke Jakarta lagi”. Tetapi apa perintah beliau saya turuti.Dua minggu sekali saya bolak-balik Jakarta Batang, dan setiap dua minggu langsung saya laporkan perkembangan hasil penelitian saya. Kami diskusikan dan beliau memberi petunjuk dan koreksi. Suatu ketika saya menghadap untuk bimbingan, tetapi beliau memberi saya sebuah amplop yang berisi uang (mungkin honor dari seminar). Saya berkata : “ Jangan Prof. Saya masih ada bantuan dari teman-teman”. Tetapi beliau mengatakan :” sudah terima saja ini untuk tambahan saudara sekarang sedang butuh banyak biaya untuk penelitian”. Saat itu saya bersama rekan saya Bakharudin, ia mengolok saya : “ Wah abang ini Profesor saja diarit”. Saya sangat terharu beliau yang dengan tulus membimbing saya yang bodoh ini dan mau dengan sabar menuntun langkah-demi langkah untuk maju. Dengan hasil keringatnyapun beliau masih berusaha membantu saya secara finansial. Dan dari uang itu saya terbantu untuk melanjutkan penelitian hingga saya diijinkan untuk mengikuti ujian seminar hasil penelitian.Dua hari sebelum ujian baik kualifikasi, seminar hasil penelitian maupun pra promosi Prof. Parsudi selalu menelpon saya untuk tidak usah belajar tetapi cari keringat atau berolah raga. Agar badan lelah secara fisik dan dapat beristirahat dengan cukup sehingga saat ujian badan fresh dan sehat. Beliau amat sangat tidak menyukai cara belajar yang instan atau cara SKS (sistem kebut semalam). Jauh-jauh hari harus sudah disiapkan. Belajar bukan menghafal tetapi memahami, mampu menghubung-hubungkan dan menemukan ide atau pemikiran baru. Dalam menulis antara konsep yang satu dengan konsep yang lain saling berhubungan dan saling terkait satu sama yang lain dalam sebuah kalimat, sehingga makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan tujuan dibuatnya kalimat tersebut. Tidak gampang mengikuti cara berfikir beliau. Saya pernah diperintahkan untuk membuat sebuah tulisan untuk dimuat di jurnal. Ternyata tulisan saya dikembalikan:” ini jelek dan salah” kata beliau. “ Salahnya di mana Prof?”. “ Cari sendiri dan temukan kesalahanya, kalau tulisan ini masih jelek dan salah”. “Bagaimana Prof?”. “Ya lakukanlah saudara harus menemukan sendiri, kalau saudara lolos dari ini dan menemukannya sendiri saudara akan lancar untuk selanjutnya”. Saya terbengong-bengong tidak tahu mau berbuat apa, ya hanya berkata : ”Siap Prof”. Dengan susah payah saya berupaya menemukan jawabannya, dengan keyakinan dan semangat saya harus bisa. Setelah berulang kali dikoreksi dan dikembalikan dan mungkin beliau kasihan dengan saya akhirnya disetujui juga tulisan itu. Kalau sekarang saya baca tulisan tersebut memang masih lucu dan banyak kekurangan di sana-sini, tetapi alur dan cara berfikirnya betul. Dari situlah saya pahami bahwa Prof. Parsudi menghargai karya muridnya dan semua dimulai dari kekurangan dan keterbatasan. Beliau memang guru yang menginspirasi dan memotivasi. Dan sejak itu saya mulai semangat dan percaya diri untuk terus berlatih menulis. Saat ujian beliau lebih banyak menunduk sambil memainkan rokoknya, dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari penguji lainya. Saya sangat khawatir jangan sampai beliau mendengar pertanyaan yang salah atau pertanyaan yang menyimpang, spontan beliau akan menyanggah. Dan bisa terjadi perdebatan panjang di ruang ujian. Sebagai promotor beliau sangat bertanggungjawab untuk membela dan mendukung promovendusnya, walaupun prosesnya dihajar habis-habisan. Di depan sidang ujian beliau membela mati-matian, bahkan ketika salah satu penguji saya yang dianggapnya tidak fair, beliau menulis surat protes keras yang dikirim ke rektor maupun ketua program pasca sarjana.

*******
Dalam suatu lembaga pendidikan tinggi dibutuhkan wadah untuk menampung hasil pemikiran dan hasil karya baik dari para pengajarnya maupun dari mahasiswanya. Sehingga ilmu pengetahuan dapat didiskusikan dan tumbuh berkembang. Wadah tersebut adalah berupa Jurnal ilmiah atau asosiasi, ataupun yayasan yang peduli akan pengembangan ilmu pengetahuan.Dalam hal ini Prof. Parsudi berupaya mewujudkannya melalui Jurnal Polisi Indonesia, sebagai jurnal ilmiah nasional yang menampung pemikiran dan tulisan-tulisan pengajar KIK. Awal mula Penerbitan Jurnal Polisi Indonesia (1999) bekerja sama dengan Yayasan Obor. Mulai edisi ke empat (2002) Jurnal Polisi Indonesia berupaya menerbitkan sendiri melalui YPKIK (Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian). Selain menerbitkan Jurnal Polisi Indonesia juga menerbitkan buku-buku yang berkaitan dengan ilmu kepolisian. Dalam perkembangannya Prof. Parsudi juga mempelopori dibentuknya Asosiasi Pengkajian Ilmu Kepolisian (APIK), ketua pertamanya adalah almarhum Brig. Jend. Pol Bakat Purwanto. APIK sekarang diketuai oleh Dr. Yusuf alumni S3 KIK UI angkatan pertama dan wakilnya Brig. Jend Pol Bekto Suprapto alumni S2 KIK UI angkatan pertama. Meskipun berat dan banyak kendala yang dihadapi Jurnal Polisi telah terbit sampai edisi yang ke sepuluh. Dan sebelum meninggal Prof. Parsudi pun telah menyiapkan untuk edisi ke 11 walaupun masih rencana. YPKIK sampai tahun 2007 telah menerbitkan tiga buku terjemahan (Research Design (dua kali terbit), Ensiklopedia Ilmu Kepolisian, Understanding Community Policing. Dua buku tulisan Prof. Parsudi (Suku bangsa dan Hubungan Antar Suku bangsa (dua kali terbit), Antropologi Perkotaan: dengan Pendekatan Kebudayaan Perkotaan. Satu buku kumpulan tulisan mahasiswa angkatan ke 6 (Bunga Rampai Kegiatan Kepolisian). Satu buku kumpulan tulisan dosen dan pengajar KIK UI: Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Tiga buku tentang kepolisian (YPKIK sebagai penerbitnya: Pacu Kinerja Tingkatkan Citra, Polmas Paradigma Baru Polri, Kompetensi SDM Polri). Dan tujuh edisi Jurnal Polisi Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun tujuh belas buku tentang kepolisian telah diterbitkan oeh YPKIK, walaupun ada pertentangan dan kritik, dan kelemahan di sana-sini.Awal mulanya saya tidak tahu dan tidak mempunyai pengalaman tentang penerbitan buku. Saya sangat awam, tetapi Prof. Parsudi terus mendorong untuk maju. Sekali peristiwa saya dimarah habis-habisan oleh Kombes Pol. Dr. Bambang Widodo Umar, dengan berbagai tuduhan dan tindakan saya yang dianggapnya sebagai kesalahan atau mungkin dianggapnya sebagai kekurangajaran saya sebagai yunior terhadap senior. Saya waktu itu ingin mundur saja tidak usah ikut sibuk mengurusi Jurnal dan YPKIK, toh di kepolisian, tidak memerlukan pengetahuan tentang penerbitan atau yayasan pendidikan pikir saya. Tetapi Prof. Parsudi terus meyakinkan :” Jangan mundur, kalau mundur saudara yang rugi ”. Meski dengan pikiran yang tidak menentu dan hati yang mendongkol karena apa yang dituduhkan kepada saya sifatnya subyektif, tetapi saya turuti saja saran beliau. Setelah menerbitkan Jurnal Polisi Indonesia edisi ke empat saya diminta untuk menerbitkan buku Research Design untuk kalangan sendiri. Beliau tahu YPKIK tidak mempunyai uang dan beliau mengajak untuk iuran sebagai modal. Dan ternyata rekan saya Nurhadi Yuwono bersedia membantu, memberikan pinjaman tanpa bunga. Pada pertengahan tahun 2003 Prof. Parsudi menyumbang uang sebesar seratus juta rupiah untuk YPKIK. Saya diperintahkan untuk mengelola uangnya. Saya berusaha berkelit untuk menghindar. “ Saudara Chryshnanda ini senengannya cengengesan “ kata beliau dengan nada keras. Akhirnya uang itu saya atasnamakan dua orang yaitu saya dengan ibu Ida Ayu W Soentono (waktu itu Sekretaris Program KIK).Pada penerbitan buku yang selanjutnya saya banyak dibantu rekan-rekan dari KIK maupun dari para alumni yang sudah bertugas di kewilayahan. Lagi-lagi Nurhadi Yuwono dan Fadil Imran membantu untuk menerbitkan buku Ensiklopedia Ilmu Kepolisian dan juga Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Prof. Parsudi pernah mengusulkan untuk yang bekerja di YPKIK (saya, Bambang Hasto Broto, Edy Murbowo) untuk diberi honor, tetapi kami menolak. Kami menyadari YPKIK masih bayi yang perlu imunisasi, ibarat pohon baru tunas, tidak mungkin dipanjat apa lagi diambil buahnya. Untuk menambah penghasilan, YPKIK menerima prosentase sebagai penerbit saja sedangkan isi dan tanggung jawab ditangani oleh penulis. Dan dari inilah timbul polemik dan sayapun kembali mendapat hujatan dan makian di sana-sini dituding sebagai plagiat tulisan Irjen Pol (Purn) Drs. Rony Lihawa. Sayapun tidak pernah tahu tulisan yang mana. Pak Rony Lihawa sendiri tidak pernah mengatakan secara langsung atau menulis tegoran atau komplain kepada saya atau YPKIK ataupun mengklarifikasi tetapi orang-orang yang tidak tahu menahu dan bahkan tidak mengenal saya ikut menghujat dan menyebarkan kebencian terhadap diri saya. Prof. Parsudi kembali meyakinkan tidak perlu ditanggapi itu sudah basi dan anggap saja sampah.Laporan keuangan YPKIK yang selama ini dipegang Edy Murbowo (sebagai bendahara YPKIK) cukup rapi dan dapat dipercaya. Kami yang masih kecil dan serba terbatas mempunyai komitmen tidak menginginkan uang itu apalagi untuk pribadi dan demi kemajuan YPKIK kami yang masih kecil-kecil ini berupaya untuk menumbuhkembangkan. Namun disela-sela kehidupan YPKIK yang terseok-seok dan kembang kempis ada yang tega menuding kami sebagai koruptor, mengambil uang YPKIK untuk kepentingan pribadi. YPKIK belum pernah menerima sumbangan dari orang-orang besar bahkan dari yang pernah menjadi pejabat Polri sekalipun, kami hidup dan dihidupi dari rekan-rekan yang masih kecil-kecil ini. Mungkin juga orang-orang yang ikut menuding sama sekali tidak tahu menahu tentang YPKIK apalagi membantu secara finansial, tetapi kebencian telah berhembus. Terlepas benar atau tidak isu sudah menjadi konsumsi perbincangan dan social costnya mahal yang harus dibayar oleh YPKIK dan kami ini sebagai pengurusnya. Tapi kami percaya pepatah jawa: Becik Ketitik Olo Ketoro. Lagi-lagi dalam masalah ini Prof. Parsudi menunjukan kebesarannya dengan lantang dan keras menulis tentang berbagai hal yang miring dan tidak benar, bahkan diseminarkan atau dibahas dalam seminar. Beliau selalu mengajarkan untuk belajar dari kesalahan bukan mencari kesalahan. Dan yang tidak disukainya adalah menghembuskan kebencian lewat omong-omong kosong yang tidak ada ilmiahnya. Saya dalam kondisi terpojok dan ditekan sana-sini beliau selalu menguatkan dan memotivasi. Sebongkah marmer akan tetap menjadi sebongkah batu yang tidak mempunyai nilai seni tanpa pukulan dan pahatan yang terus menerus dari sang seniman (pemahat). Seseorang juga tidak akan menjadi dewasa, tidak juga menjadi besar dan tidak akan bijaksana tanpa menghadapi berbagi cobaan atau permasalahan. Permasalahan bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi.

******
Kami sebagai mahasiswa KIK setiap tahun mengadakan seminar sebagai latihan atau pelajaran bagi kami untuk menyelenggarakan sebuah seminar baik sebagai steering commitee maupun sebagai organaizing commitee. Seminar yang cukup besar adalah seminar dalam rangka Sewindu KIK. Dalam seminar ini juga dilaksanakan yudicium mahasiswa KIK angkatan ke 7 yang diselenggarakan di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) Jakarta. Saya sebagai mahasiswa S3 sebenarnya tidak ada tugas khusus hanya membantu mahasiswa S2 untuk membuat TOR (Term of Refference) dan menunjukkan kerangka tulisannya. Ternyata anak-anak S2 KIK main ambil tulisan Prof. Parsudi tentang ilmu kepolisian dan langsung diberikan ke beliau untuk dikoreksi. Saat saya selesai kuliah beliau memanggil dan menunjukkan Draft TOR yang dibuat anak-anak S2 KIK dengan marah beliau berkata: ”Saudara lihat, ini plagiat, ini semua tulisan saya, jangan diulangi”. Saya kaget setengah mati yang membuat siapa dan mengapa saya yang dimarahi?. Tapi saya jawab : “ Siap prof akan saya perbaiki”. Dengan hati-hati saya perbaiki dan setelah dua minggu saya ajukan lagi dan ternyata beliau setuju : “Lanjutkan rencana seminar saudara dan tulis nama saudara sebagai panitia. Saya mencari-cari nama saudara tidak ada dalam TOR ini”. Saya tulis nama saya sebagai pembantu umum, walaupun dari TOR sampai dekorasi saya ikut mengerjakan, ya biarlah namanya juga pembantu umum semua dibantu semua ikut disiapkan.Tatkala terjadi bencana tsunami di Aceh, beliau bersama dengan Prof. Mardjono dan Dr. Yusuf dan saya serta mahasiswa S3, S2 KIK lainnya merencanakan melakukan penelitian tentang pemolisian pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darusalam. Rencana awal mahasiswa S3 tidak dilibatkan yang berangkat hanya mahasiswa S2 saja. Tetapi anak-anak S2 melaporkan ke Prof. Parsudi dan menunjuk saya untuk ikut berangkat ke Aceh. Beliau setuju dan akhirnya saya berangkat bersama sepuluh rekan lainnya : Bakharudin, Tony Sinambela, Zainal Abidin, R. Prabowo Argo, Nurkolis, Priyo Wiro, Rudi Darmoko, Anwar, Vanda Rizano, dan Sukarman. Kami dibiayai oleh Dr. Yusuf dan rekan saya Yaya Ahmudiarto. Kami juga mendapatkan arahan dan tambahan sangu dari Derenbang Kapolri Irjen. Pol Tjuk Sugiarso. Dan atas bantuan Brig.Jend Pol Ito Sumardi kami berangkat dengan pesawat Polri.Sepulang dari Aceh kami menyiapkan laporan hasil penelitian. Dan setelah kami laporkan kepada Prof. Mardjono dan Prof. Parsudi, beliau menyarankan untuk memperbaikinya. Setelah memperbaiki laporan penelitian tersebut beliau memerintahkan untuk membuat seminar tentang pemolisian pasca bencan gempa dan tsunami di Aceh. Saya hanya diberi waktu dua Minggu. Kami tim yang berangkat ke Aceh bersama-sama mahasiswa KIK lainnya kalang kabut dan berupaya untuk menyiapkan acara seminar tersebut sebaik mungkin. Dengan pontang panting akhirnya selesai juga seminar itu. Dan hasil seminar serta laporan dari Aceh sampai sekarang masih terbengkalai, berada di rak perpustakaan saya:” Mohon maaf Prof.....”.Ketika saya menjadi panitia seminar yang diselenggarakan oleh JICA maupun IOM dan beliau menjadi salah satu nara sumber, beliau selalu bersedia membantu dan bersedia membuat makalah untuk seminar tersebut. Untuk seminar yang membahas tentang ilmu kepolisian, community policing, reformasi Polri beliau, sangat antusias dan bersemangat, dalam kondisi kurang sehatpun beliau berusaha untuk hadir. Merayu beliau sebagai nara sumber dalam suatu seminar memang tidak gampang harus dengan trik-trik tertentu dan yang menjadi penghubung orang-orang tertentu yang bisa cocok dan bisa ceritera ngalor ngidul dengan beliau. Orang-orang dari KIK UI yang bisa mengambil hati Prof. Parsudi antara lain: Bekto Suprapo, Hudit Wahyudi, Ruslan Ependi, Anwar, R. Prabowo Argo, Bakharudin, Suswanto, Edy Ichwanto, Rudi Indratno, Arif Sulistianto, Aris Budiman, Beny Mamoto, Rycko Amelza Dahniel, Yusuf , Sukarman, Zainal Abidin dan beberapa orang lainnya. Tidak gampang mengajak Prof. Parsudi keluar dari apa yang telah menjadi rutinitasnya. Melalui orang-orang itulah beliau menjadi lunak bahkan bisa tertawa terbahak-bahak meskipun yang diceritakan tentang hal-hal yang aneh dan tidak ilmiah.

******
Setelah dinyatakan lulus ujian Pra Promosi beliau mentraktir saya bersama bang Aris Budiman di rumah makan Situ Gintung Ciputat. “ Saya yang membayar, saya yang mentraktir, saya senang saudara sudah dapat menyelesaikan dengan baik”. Saya sangat terharu begitu besar perhatiannya dan bahkan dalam acara yang seharusnya saya yang merayakan syukuran atau setidaknya mentraktir teman-teman saya, ini justru sebaliknya promotor saya yang merayakan. Mungkin beliau senang dan bangga kalau muridnya yang bodoh sudah keluar dari kebodohanya dan dari kelompok bermain sekarang telah menjadi kelompok belajar.“Saudara Chryshnanda menjadi Doktor itu harus bisa mandiri dan tidak boleh di bawah ketiak siapa-siapa harus mampu menghasilkan tulisan, dan terus belajar untuk mengembangkan pengetahuannya, dan supaya saudara selalu tumbuh dan berkembang dan tidak pikun. Karena otaknya terus digunakan untuk berpikir” kata beliau ditengah-tengah makan bersama. Sayapun mengajukan beberapa pendapat saya : “Prof pada jaman yang sudah maju mungkin orang bisa mengganti-ganti otak atau organ tubuh lainnya. Tapi dalam harga pasti ada bedanya. Otak bekas ilmuwan harganya murah mungkin dua puluh lima ribu rupiah, karena otaknya sering dipakai, sedangkan hatinya bisa dua puluh lima juta rupiah karena hatinya jarang dipakai. Karena ilmuwan yang diandalkan otaknya dan jarang memakai hati. Sedangkan otak Seniman sangat mahal bisa dua puluh lima juta rupiah karena jarang dipakai dan hatinya sangat murah mungkin dua puluh lima juta rupiah karena sudah rusak. Karena seniman sering memakai hati sedangkan otaknya jarang dipakai”. “ Maksud saudara apa?”. “ Prof saya ini ingin jadi seniman dan ilmuwan berarti otak dan hati bekas saya harganya sangat murah, paling dua puluh lima ribuan karena dua-duanya sering saya pakai dan aus (rusak) semuanya“. “ ha-ha –ha saudara ini bisa saja....hik-hik hik....”. kami terus saja makan sampai hampir larut malam, dan kami mengantar Prof. Parsudi pulang ke rumah.Saat saya promosi menjadi Doktor Ilmu kepolisian yang kedua, beliau tampak rapi dan gagah dengan jas hitam, dengan wajah berseri. Sebelum ujian beliau memanggil saya : “ Saudara santai-santai aja ini kan tinggal acara seremonial tidak usah tegang”. “Siap Prof, dan saya berharap Prof tidak usah bertanya”. “ Saudara ini malah ngatur saya”. “Ha ha ha Profesor kan sudah tahu semua kartu saya buat apa bertanya”. Dengan senyum-senyum beliau menjawab : “Saudara ini ....”. dan ternyata beliau menepati janjinya tidak memberikan pertanyaan untuk saya. Tatkala membacakan sambutan sebagai promotor beliau membacakan teks yang sebagian besar isinya tentang saya saat belajar di program S3 KIK- UI. Beliaupun meledek saya yang rambutnya makin hari makin gundul dan gundul, spontan seluruh hadirin tertawa. Sayapun tertawa dalam hati saya mengataan :” ini hasil tekanan profesor kepada saya, dan kebotakan saya adalah trade mark dan kebanggaan saya, karena biar botak saya tetap PD (percaya diri) he he he”. Maaf ini bukan sombong tetapi ndableg untuk menutupi cacatnya.

******
Dua bulan sebelum beliau meninggal saya sering dimintai oleh peserta Sespati G 13 dan Sespim angkatan 45 untuk menghubungi Prof. Parsudi. Beliau sangat antusias dan penuh semangat membantu dan menyumbangkan pemikirannya. Prof. Parsudi juga sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Antropologi dan masalah-masalah sosial. Di akhir hayatnya banyak pemikirannya yang menjadi bahan masukan untuk peningkatan kualitas kinerja Polri. Terlebih yang berkaitan dengan Polmas. Polmas merupakan kebijakan Kapolri tetapi di sana-sini banyak yang latah dan bahkan mencibir, tidak yakin atau sebagai sikap defensif. Namun tatkala Kapolri menanyakan hasilnya atau menanyakan programnya baru semua gedandapan, seperti mau cari top sendiri, semua sibuk seolah-olah memang melakukan, tetapi setelah tidak ditanya ya lupa lagi.Dalam menindaklanjuti kebijakan pimpinan, maka Polmas diupayakan agar dapat dilaksanakan secara cepat atau upaya-upaya mendiskusikan Polmas dengan istilah percepatan dan sebagainya. Pada saat saya meminta beliau untuk menjadi nara sumber diskusi dan kuliah umum Sespati G 13 beliau menulis dalam makalahnya bahwa percepatan untuk implemenasi Polmas adalah susah dan sangat susah. “Bagaimana mau cepat konsepnya saja salah, pendekatan yang digunakan juga tepat, percepatan hanya sebagai istilah agar kelihatan serius ini tidak mungkin. Betulkan dulu konsepnya, baru tentukan langkah-langkah yang jelas dan pasti”. Walaupun tidak setuju dengan berbagai konsep Polmas beliau tetap berupaya untuk memberikan masukan atau saran. Diskusi dan kuliah umum Sespati G13 tentang percepatan Polmas dilaksanakan di kantor Ditlantas Polda Metro Jaya yang berada di Pancoran. Saat beliau hadir di ruang transit, tampak gelisah. Saya tahu beliau ingin merokok, lalu saya ajak naik ke lantai empat di ruangan kerja saya. Saat di ruangan kerja saya beliau tampak tenang dan berbahagia karena bisa merokok kebetulan ditemani oleh Polwan-Polwan Dikyasa. Beliau saya ajak ke gudang penyimpanan produk-produk Dit Lantas Polda Metro Jaya sebagai bentuk implementasi Polmas pada fungsi lalu lintas. Beliau sangat senang dan merasa bangga apa yang diajarkan kepada saya, banyak yang telah diimplementasikan melalui produk-produk tersebut. Pada diskusi round table sebagai pra seminar beliau juga diundang lagi sebagai nara sumber untuk menanggapi karya peserta Sespati dan Pasis Sespim. Malam sebelum menanggapi produk tersebut beliau mengirim SMS Bakharudin untuk meminta saran untuk bicara apa tentang naskah ini. Dan Bakharudin menelpon saya. Beliau menilai lucu naskah tersebut, dan saya sarankan untuk disampaikan apa adanya dan yang terpenting ada solusinya. Namun pada saat round table beliau memang banyak mengkritik tetapi beliau memuji karya itu untuk diapresiasi dan inilah sebetulnya beliau menghargai suatu karya, dan mendorong untuk maju meskipun banyak kekurangan.Setelah melalui beberapa kali rapat dan diskusi antara EO (event Organiser), panitia seminar, dan Widya Iswara Sespati dan Sespim, Prof. Parsudi ditunjuk sebagai nara sumber, pemapar dan penanggap sekaligus serta membuat makalah. Pada mulanya beliau menolak tidak bisa, karena ada seminar di Bangka Belitung, atas undangan Kapolda Bangka Belitung. Tetapi setelah saya yakinkan karena di Bangka Belitung tanggal 20 dan 21 Nopember sudah di Jakarta dan Seminar Sespati-Sespim tanggal 22 Nopember 2007, akhirnya beliau menyetujui dan bersedia mengirim makalah lewat email. Legalah hati para panitia karena Prof. Parsudi sudah bersedia untuk menjadi nara sumber.Tanggal 11 Nopember 2007 ada rapat tentang Polmas yang diselenggarakan oleh Staf Ahli Kapolri, beliau hadir waktu itu, dan dengan semangat beliau menyampaikan saran-sarannya. Saat istirahat saya berbincang-bincang dengan beliau dan saya bertanya : “ Sehat Prof?”. “ Saya sehat sekali “ jawab beliau berapi-api, sambil terus merokok Gudang Garam Kretek Merah kesukaannya. “ Saudara kapan ke Bogota?”. “tanggal 12 Nopember Prof, tetapi ini belum ada kepastian, karena dari ITDP masih simpang siur beritanya”. Beliau menyarankan saya untuk menulis tentang lalu lintas yang didiskusikan dalam sebuah TV swasta :” Konsep dan teori yang saudara sampaikan itu lengkap dan sangat bermanfaat untuk Polantas dan kegiatan saudara di Bogota”.Tanggal 12 Nopember 2007 saya akhirnya ikut berangkat ke Bogota. Pada tanggal 18 Nopember 2007 Prof. Parsudi mengirim SMS ke Bakharudin yang menyampaikan tidak bisa berangkat ke Bangka Belitung karena sakit dan beliau juga tidak bisa membuat makalah karena jarinya teriris pisau. Dan SMS terakhir di Hand Phone beliau sebagai berikut : Saudara B (Bakharudin) kapan Saudara C (Chryshnanda) pulang (dari Bogota). Telah menjadi kebiasaan Bakharudin jika di SMS Prof. Parsudi langsung beliau di telepon dan Bakharudin menyampaikan akan mengantar ke dokter, dan mencarikan tukang ketik, tetapi semuanya ditolak. Bakharudin juga menyampaikan : Bang Chrysh pulang Senin dan Selasa sampai di Jakarta. “ Baik saya tunggu”, kata beliau. Ternyata terbang dari Bogota ke Jakarta tidak ada penerbangan yang langsung tetapi dua kali transit dan total perjalanan adalah 38 jam. Saya tiba di Jakarta Rabu malam jam 21.30 WIB tanggal 21 Nopember 2007.Tanggal 22 Nopember 2007 pelaksanaan seminar Sespati dan Sespim di Hotel Arya duta Jakarta. Tim penjemput sudah datang sejak jam enam pagi karena Prof. Parsudi sebagai pemapar pertama. Tetapi sampai jam 7 pagi belum ada jawaban, diketok-ketok tidak ada jawaban, TV hidup, AC kamar hidup. Tim penjemput yang terdiri dari satu pengemudi mobil kijang dan satu petugas Patroli dan pengawalan Dit Lantas Polda Metro Jaya. Tim penjemput menelpon AKP Endang (anggota Dikyasa Ditlantas Polda Metro Jaya) untuk meminta saran atau petunjuk. AKP Endang menelpon Bakhrudin dan Saya untuk meminta saran. Hand Phone Prof. Parsudi di telpon Bakharudin dan terdengar oleh tim penjemput tetapi juga tidak ada jawaban. “Bagimana kalau didobrak lewat pintu belakang?” tanya AKP Endang. Saya dan Bakhrudin punya pengalaman dengan Prof. Parsudi kalau tidak dijawab ya sudah berarti sakit. Tetapi AKP Endang juga punya pengalaman anggotanya pernah juga diketok tidak membuka dan didobrak ternyata telah meninggal. Akhirnya tim penjemput bersama ketua RT setempat nekad mendobrak lewat pintu belakang, ternyata Prof. Parsudi sudah meninggal dunia.Saya bersama Bakharudin menuju rumah duka dan kami berunding dengan Sukarman, Helmi Santika, Kadenma Mabes Polri, tim dari UI untuk mengatur tata upacaranya. Akhirnya disepakati, setelah diidentifikasi oleh tim dari Polres Jakarta Selatan, jenazah dibawa ke rumah sakit Fatmawati. Setelah disucikan di rumah sakit Fatmawati, Jenazah di sholatkan di Masjid UI, dan di semayamkan di FISIP UI dan dimakamkan di taman makan kehormatan Polri Cikeas dengan upacara kebesaran Polri. Selama dalam perjalanan menuju tempat pemakaman : saya, Yaya Ahmudiarto, Sukarman dan Rudi Indratno di mobil jenazah menerawang, sedih, bangga, dan terkenang akan masa yang penuh suka duka bersama beliau. Kini kami hanya berhadapan dengan peti jenazah beliau, yang di dalamnya terbujur kaku jasad orang tua, guru, sahabat yang sangat kami cintai dan kami banggakan. Kenangan tinggal kenangan.Upacara pemakaman dipimpin oleh Irjen Pol Drs Alantin Simanjuntak, dan dihadiri oleh Kapolri, Jenderal Sutanto dan beberapa perwira tinggi serta pejabat Polri. Saya terkesan dalam mengantar beliau di tempat peristirahatan yang terakhir semua berjalan lancar tanpa halangan, cuaca cerah. Kamipun penuh haru, melihat beliau hidup seorang diri tidak mau merepotkan orang lain, bahkan mungkin saudaranya. Keinginan untuk kembali kepada sang Penciptapun beliau tak mau orang repot, tanpa sakit panjang, walau sanak saudara jauh tetapi Tuhan menunjukkan dan memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada beliau.

******
Sekarang ini yang terkenang tentang beliau adalah yang manis, yang baik, terlepas dari segala kekurangan dan kesalahannya sebagai manusia. Prof. Parsudi telah mampu menunjukan jati dirinya sebagai sosok Parsudi Suparlan. Keteladanan dan nasihat beliau yang dapat kita ambil dan sebagai inspirasi serta motivasi antara kami : ketekunannya, kegigihannya, keberaniannya, ketulusan hatinya, kecintaannya akan pekerjaan dan mungkin banyak lagi yang dapat kita teladani. “ Saudara kalau mau tetap eksis sampai tua saudara harus mampu menggeser kekuatan fisik menjadi kekuatan otak”. Dan beliau juga sering mengatakan : “ Kalau saudara mau berhasil saudara harus mampu membuat stressor bagi diri suadara”. Dalam hal menulis dan berfikir beliau dengan keras berkata:” saudara jangan suka menjadi plagiat atau mengambil kata-kata, pikiran orang lain tanpa menyebutkan asalnya”. Dikala saya pusing bingung beliau mengatakan :” Saudara harus mampu keluar dari apa yang sedang saudara pikirkan, saudara harus mampu berpikir melompat-lompat, dan harus tekun membaca, tidak jelas membaca, membaca lagi”. Dalam berkarya beliau juga mengingatkan : “ Orang boleh berkata pandai tetapi kalau tidak ada karyanya ya percuma, saudara harus bisa menulis, dari tulisan itulah ada keabadian dan bisa dipahami pemikiran-pemikiran kita dan bisa disebarluaskan “. Betul Prof. Karya itu lebih panjang dari usia kita tanpa karya orang hanya diingat tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari setelah kematian. Di negeri kita jarang ada pejabat yang berkarya mereka banyak uang dan mempunyai kekuasaan agar dikenang pernah hidup di bumi ini maka banyak diantara mereka yang berlomba-lomba untuk menulis biografi agar ada yang ditinggalkan atau ada yang dipakai untuk mengenang.Suatu ketika saya diajak berbicara dengan beliau : “ Saudara Chryshnanda walaupun saudara sudah doktor, saudara harus tetap berada di lingkungan ini (KIK dan dalam asuhan beliau) selama dua tahun. Setelah itu saudara harus siap menghadapi berbagai masalah di Polri yang rumit”. “Prof saya ini rasanya seperti kancil yang harus masuk hutan rimba untuk menghadapi binatang-binatang buas (Harimau, Ular, Buaya dsb)”. “Saudara harus menjadi macan (mampu mengaum untuk menyatakan kebenaran) dan selincah serta secerdik kancil”. Saya benar-benar tidak memahami nasihat beliau dan setelah beliau meninggal dunia baru saya sadar. Saya lulus dari S3 KIK tahun 2005 Prof. Parsudi masih menemani saya dan membimbing saya sampai tahun 2007, persis apa yang beliau katakan. Saya harus menjadi saksi kepada yang telah meninggal dan yang masih hidup untuk : berani menyuarakan kebenaran, berani untuk jujur ditengah kemunafikan, berani untuk berjuang untuk keadilan, kemanusiaan, melawan kezaliman, tekun dan tetap belajar dan berkarya, kritis, mengkritik yang dikritik tidak marah tetapi mau merubah. Keras dalam prinsip santun dalam penyampaian. Ketika masuk rumah beliau yang sedang dibersihkan, tak ada lagi kopi dan kepulan asap rokok Parsudi, tak ada lagi pertanyaan tentang teori dan konsep, tak ada lagi jari tua yang tekun mengetik makalah, tak ada lagi tawa khas pendek-pendek ala Parsudi, tak ada lagi yang peduli akan tanaman obat. Tidak ada lagi yang memaksa saya untuk menulis. Nasehatnya kini terasa, saya harus mampu membuat stresor untuk diri saya kalau ingin mempunyai karya. Beliau bercita-cita menjadi petani setelah pensiun, ingin menyepi di pedesaan namun sekarang semua itu tinggal kenangan. Yang nampak disudut ruang kerjanya bingkai yang berisi potongan koran gambar bayangan sosok manusia (entah siapa) yang dibawahnya tertulis “ Siapa Guru Bangsa Ini?”. Sang Guru telah pergi menghadap Sang Pencipta, Selamat jalan Prof, Selamat mencapai kebahagiaan yang abadi, karya dan pemikiran profesor akan tetap hidup tumbuh dan berkembang. Pohon dikenal dari buahnya, Parsudi dikenal dari karyanya. :” Ilmuwan menjadi besar bukan karena otaknya, tetapi karena moralnya” kata-kata mutiara Albert Einstein yang dikutip Prof. Parsudi dalam sambutan promosi, Doktor Irawati Harsono. Perjuangan moral Profesor sebagai ilmuwan sejati, sebagai manusia yang humanis dan religius (walaupun tidak nampak secara ritual), telah dibuktikan dalam menjadi saksi akan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, membangun dari segala keterbatasan dan kekurangan serta percaya akan kuasa Tuhan. Saya percaya Profesor disayang dan dicintai Sang Khalik, semoga Profesor berbahagia dan mendapatkan tempat yang layak di Sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.
Jula-Juli Pak Polisi


Polisi iku Abdi Utama Nusa Dan Bangsa
Menjalankan Tugas Yang Mulia

Mengayomi Melindungi Harta Dan Jiwa
Menegakkan Hukum Demi Manusia

Ternyata Apa Nayatanya
Citra Tak Sesuai Cita dan Asa

Yok Opo Kon Apik Citrane Yen Pulisine Isih Luwe
Saben Kerjo Mung Mikir Weteng Anak Bojone

Nang Dhukur Duwit Nang Samping Duwit
Kiwo Ngiler kathokan Kolor
Aduh Duh Kok Koyo Demit
Pintere Kok Mung Pinter Ngolor

Jamane Jaman Edan
Edan Iku Kudu Ditiru
Yen Ra Melu Ngedan
Ra Iso Ngguya Ngguyu

Piye-Piye Tho Iki Carane
Aku Gumun Karo Ngemut Tempe
Akeh e Wong Mung Golek Senenge Dewe
Yen ditoto akeh ngamuke

Satu Dua Tiga Empat Lima
Bernyanyi Jangan Sampai Kecetit
Aku Pusing Jika Tanggal Muda
Terima Gaji Hanya Jadi Selilit

Buka Lubang Tutup Lubang
Utang Itu Manajemen
Kalau Tidak Utang
Yo Mesti Mejen

Air Hangat Air Yang Berharga
Itu Air Dari Surga
Bukan Untuk Rasa Dahaga
Air Penyejuk Rasa Kecewa

Berkeluarga Jangan Lupa Ka Be
Keluarga Berencana
Bapak Ibu Enyak Babe
Sejahtera Itu Masih Dalam Rencana

Berpatroli Naik Sepeda
Tiba-Tiba Bane Kempes
Jadi Polisi Memang Mengelus Dada
Dalam Tugas Banyak Yang Belum Beres

Ini – Itu Semuanya Mahal
Bagai Mana Hidup Sambil Berjuang
barang-barang harganya mahal
agar Cukup Ya harus Ngutang

Dicaci Dan Dimaki
Sungguh Mati Menjadi Sumpah
Kalau Tidak Diperbaiki
Ya Hanya Jadi Sampah

Yen Nunjuk Iku Nganggo Driji
Driji Tugel Jenenge Puther
Bagimana Untuk Menambah Gaji
Ya Harus Muter-Muter

Pak Bejo Kok Ra Bali-Bali
Jebulane Lunga Peking
Aku Kroso Kurang Gaji
Nggolek tambahan nganti njengking

Opo ra Wedi Dadi Juru Kunci
Saben Dino Nunggu Wong mati
Lha Yen Wedi
Gak Mangan Nasi

Opo Ora Wedi dadi Polisi
Kerep di maki lan di caci
Jare Opo Le Nyauri
Lha Yen Wedi

Gulu Mlanjer Arane Tengeng
Gak Iso Noleh Nang Tikungan
Piye Gak Dadi Mlengeng
Margo Butuhe Ora Itungan

Itung-Itung Tanggal Muda
Hari Baik Menerima Gaji
Biar Gaji Tak Seberapa
Yang Penting Tetap Polisi

Juminten Klelegan Telo
Nyuwun Ngapunten Salah Kulo

Mbok Painten Ketiban Klopo
Cekap Semanten Jula-Juli Kulo




Jakarta 3 April 2005

ANTARA AKU DAN KAMU

(RENUNGAN SEWINDU ULANG TAHUN KIK)



SEBURUK ITUKAH WAJAH DAN CITRAMU?
TAK SEDIKIT YANG MUAK DENGANKU
TAK HANYA ITU…..
OTAK DAN HATIMUPUN KADANG IKUT MENGOLOKKU

TUAN NINGRAT ILMUWAN TAK SEMUA SUKA AKU
ADA YANG MENYADARKAN
ADA YANG MEMBANGKITKAN
TAPI ADA YANG MENAMAI KU DENGAN OLOKANMU

AKU DIKATA KAJIAN PRIT JIGO
MUNGKIN ITU CANDA GURAU
TAPI MENUSUK HATIKU
DI RUANG BELAJARMUPUN AKU DIKIRA PENGACAU

KAKI DAN TANGANMU YANG SEHARUSNYA TAHU AKU
KADANG MEMBUAT KU MALU DAN KECEWA
TAK BEDA SEPERTI YANG DULU
HANYA SUKA NILAI DAN PERIGKAT DARIKU

SADAR AKU KALAU MASIH LUGU
KAWAN-KAWAN KU DI NEGARA MAJU
MEREKA MEMANG TELAH MATANG
MANTAP…. KUAT UNTUK JADI PENOPANG

MAAF AKU TAK PUNYA LIDAH UNTUK MENJILAT
AKU TAK PUNYA JIWA BABU YANG HARUS SELALU TAAT
AKU HANYA INGIN JUJUR KEPADAMU
BAHWA AKU MENCINTAIMU

AKU MEMANG BUKAN KAMU…AKU TIDAK MIRIP KAMU
TETAPI LEWAT AKU …..
CITRA DAN KETAMPANANMU TAK HILANG MENJADI DEBU
SEMUA AKAN BANGGA DAN CINTA DIRIMU







JAKARTA 23 AGUSTUS 2004
CHRYSHNANDA DL

ANTARA AKU DAN KAMU

SEBURUK ITUKAH WAJAH DAN CITRAMU?
TAK SEDIKIT YANG MUAK DENGANKU
TAK HANYA ITU…..
OTAK DAN HATIMUPUN KADANG IKUT MENGOLOKKU

TUAN NINGRAT ILMUWAN TAK SEMUA SUKA AKU
ADA YANG MENYADARKAN
ADA YANG MEMBANGKITKAN
TAPI ADA YANG MENAMAI KU DENGAN OLOKANMU

AKU DIKATA KAJIAN PRIT JIGO
MUNGKIN ITU CANDA GURAU
TAPI MENUSUK HATIKU
DI RUANG BELAJARMUPUN AKU DIKIRA PENGACAU

KAKI DAN TANGANMU YANG SEHARUSNYA TAHU AKU
KADANG MEMBUAT KU MALU DAN KECEWA
TAK BEDA SEPERTI YANG DULU
HANYA SUKA NILAI DAN PERIGKAT DARIKU

SADAR AKU KALAU MASIH LUGU
KAWAN-KAWAN KU DI NEGARA MAJU
MEREKA MEMANG TELAH MATANG
MANTAP…. KUAT UNTUK JADI PENOPANG

MAAF AKU TAK PUNYA LIDAH UNTUK MENJILAT
AKU TAK PUNYA JIWA BABU YANG HARUS SELALU TAAT
AKU HANYA INGIN JUJUR KEPADAMU
BAHWA AKU MENCINTAIMU

AKU MEMANG BUKAN KAMU…AKU TIDAK MIRIP KAMU
TETAPI LEWAT AKU …..
CITRA DAN KETAMPANANMU TAK HILANG MENJADI DEBU
SEMUA AKAN BANGGA DAN CINTA DIRIMU







JAKARTA 23 AGUSTUS 2004
CHRYSHNANDA DL

BASAH DAN KERING

Basah dan kering merupakan dua kata yang bertentangan, sering dijadikan simbol atau lambang kemakmuran dan kesengsaraaan. Terutama yang berkaitan dengan posisi, jabatan, kewenagan dan kekuasaan. Pada konteks birokrasi publik tempat yang basah merupakan analogi dari kewenagan yang besar dan dapat digunakan untuk mendapatkan hasil atau keuntungan untuk privat atau kelompok tertentu yang tidak dimiliki pada posisi atau jabatan lain meskipun tingkat eselon atau neveleringnya sama.

Dalam birokrasi yang patrimonial dan mengembangkan sistem yang feodal maka yang dituntut bagi pejabat pada tempat yang basah adalah loyalitas. Konotasi loyalitas yang seharusnya kepada pekerjaan atau masyarakat yang dilayani justru diabaikan atau dinomorsekiankan, karena yang pertama dan yang utama adalah loyalitas kepada pribadi-pribadi pejabat ” yang mempunyai kewenagan dan kekuasaan” untuk memberikan jabatan, melindungi atau melanggengkan suatu jabatan.

Pejabat-pejabat pada posisi basah ini tentu merupakan tanaman keras dari para pimpinan yang dibangun dengan hubungan-hubungan personal. Dasar penunjukannya adalah subyektif bukan berdasarkan prestasi kerja tetapi suka-suka atau tingkat loyalitas kepada pimpinan. Tentu orang-orang yang menjabat pada posisi ini akan merasa hutang budi dan dituntut untuk mampu menunjukan loyalitas dan pelayanan yang istimewa kepada pejabat yang telah menunjuk atau yang memberi kepercayaan untuk duduk di kursi jabatan basah tersebut.

Dalam birokrasi publik yang mengutamakan service kepada publik tentu bukan untuk provit, namun pada jabatan basah tadi justru menjadi provit dengan topeng servicenya tadi. Hal ini justru menjadi kebanggaan dan harapan banyak orang ingin menduduki jabatan itu. Ini yang aneh bahkan mengherankan core value yang tumbuh dan berkembang betul-betul bertentangan atau bahkan menyimpang dari yang ideal.

Heranya, justru dibangga-banggakan dan untuk mencapai posisi atau jabatan basah harus dengan perjuangan mati-matian, kasak-kusuk, mungkin juga membayar untuk modal dasar. Wah sudah seperti orang berdagang saja. Ya pasti. Untung rugi inilah yang dijadikan acuan atau pedoman atau kerangka berpikirnya. Ada istilah yang berkembang” jabatan itu merupakan kesempatan emas dan tak berulang dua kali” maka manfaatkan sebaik-baiknya.

Tak jarang bila dengan jalan formal atau kedinasan atau pendekatan kepada pejabat yang menentukan dianggap kurang kuat atau kurang yakin, maka jalur informal inilah yang jadi pilihanya. Lewat keluarganya (istri, anak, menantu, orang tua, kakak, adik, paman, bibi, pakde, paklik, simbah, ponakan dsb) ini juga akan menjadi linking pin atau tim sukses. Tentu ini tidak gratis mereka-mereka ini jelas harus kecipratan atau diciprati dulu sebagai tanda loyal dan tanda jadi untuk mendukung. Yang nantinya bila telah menjabat tidak melupakan jasa-jasa dan ada balas budi yaitu cipratan-cipratan tadi.

Cipratan adalah kena air yang sedang mengalir atau dari kubangan yang membuat orang yang kena air itu basah. Tentu kena airnya itu bukan alami tetapi disengaja atau karena sesuatu. Misalnya memang disiramkan, atau ada kegiatanatau tindakan ditempat yang basah sehingga airnya muncrat dan mengenai apa saja yang ada di sekelilingnya.

Bagi pejabat di tempat atau posisi yang basah wajib hukumnya untuk menciprati atau niprati bagi pejabat lain khususnya yang di atas sedangkan yang di samping atau yang di bawahnya ya tentu tidak sekencang untuk yang atas. Yang di sampin dan yang di bawah itu ya sak kenanya atau sak dremo teles tapi ora kebes (sekedar basah tetapi juga tidak kuyup). Untuk yang atas hukumnya wajib bila tidak kecipratan tentu akan merasa panas dan timbulah berbagai tuduhan dan fitnah yang kejam bahkan di luar perikemanusiaan. Dan untuk yang sampin dan bawah tentu seingatnya. Karena yang di sampin dan bawah ini sekedar untuk menunjukan kedermawanan atau caritas atau sedekah bagi yang duafa atau kurang basah.

Semua tuntutan atau permintaan yang atas pasti segera dipenuhi atau setidaknya diupayakan mati-matian karena kalau tidak keturutan atau tidak memuaskan maka dicaplah prejabat tadi tidak loyal.yang dianggap tidak loyal akan disisihkan ataub akan disengsarakan atau bahkan dimatikan. Pejabat yang berkuasa ibarat ”idu geni sopo sing didilat mati opo sing didawuhake kudu dadi” ibarat ludah api siapa saja yang dijilat maka akan mati dan apa yang diperintahkan harus terjadi atau terlaksana. Apapun yang terjadi yang penting pimpinan tidak menegur atau tidak marah. Tak peduli orang banyak kesusahan atau mungkin mati tak lagi dipikirkan.

Bagi yang mendapat tegoran apalagi menimbulkan konflik yang melibatkan pimpinan, maka yang bersangkutan dianggap tidak mampu menjaga atau melaksanakan kebijakan pimpinan. Tentu yang kecil, yang lemah dikorbankan untuk melindungi pimpinan atau kesatuan atau harga diri dan martabat institusi. Kalau sudah dilabel tidak becus atau tidak mampu mengamankan atau menjalankan kebijakan pimpinan tentu akan ditendang. Dan nendangnya sak kenanya dan sak maunya. Inipun terjadi karena balas dendam.

Balas dendam bagi pejabat yang pada posisi basah bisa terjadi bila yang bagian samping atau bawah atau pejabat lain yang tidak dianggap penting ini naik tahta dan berkuasa maka ia akan mencabut semua rumput yang dianggap ilalang. Yang dulunya melupakan, menciprati semaunya atau bahkan tidak mencipratinya sama sekali. Dan anehnya diganti dengan orang-orang yang dianggap loyal dan mampu bermain air di tempat yang basah tadi dengan ciprat-cipratan. Bila pejabat ini turun maka akan terulang kembali pola peneunjukan orang-orang yang akan menduduki jabatan basah itu. Balas membalas ini sudah menjadi kebiasaan yang terpola dari waktu ke waktu.


Mengapa posisi atau jabatan basah ini menjadi rebutan atau idaman atau harapan bagi semua orang ? karena di jabatan yang kering tidak mempunyai kewenganan atau kekuasaan yang dapat digunakan dengan salah atau disalah gunakan demi keuntungan atau pendapat yang berlimpah ruah, walaupun pekerjaan yang dilakukan itu mulia dan besar jasanya bagi hidup dan kehidupan manusia. Tetapi tentu dianggap kerja konyol, sia-sia dan tak ada gunanya karena tidak menghasilkan dan dianggap sepele atau bahkan dianggap sampah oleh pimpinanya.

Di tempat-tempat yang kering inilah tugas dan kerjaan yang sebagaimana seharusnya justru dikesampingkan dan dianggap tidak penting. Anggapan yang beredar dan berkembang adalah percuma kalau hanya banyak pendapat tapi pendapatan kurang. Ini memang aneh, aneh bin ajaib. Yang betul kalau tidak umum maka dianggap salah dan yang salah bila sudah menjadi keyakinan orang banyak itulah yang benar.

Di tempat-tempat kering biasanya kinerjanya rendah, layu bagai tak akan ada harapan untuk tumbuh dan berkembang, masa depan suram. Dan isinya orang-orang buangan atau orang yang penuh masalah. Sehingga mereka hanya bisa pasrah dan menunggu perintah inipun tidak bisa juga diselesaikan karena rendahnya kemampuan dan lemahnya kinerja. Orang-orang di tempat kering ini hanya grundelan, memandang kenikmatan di tempat basah.mereka banyak bermimpi, berangan-angan sebagai ungkapan keputusasaan, mungkin juga menjadi ekstrim atau selalu menjadi oposisi.

Adanya jabatan basah dan kering menunjukan birokrasi yang korup atau birokrasi yang merupakan kerajaan pejabat (official doom).Birokrasi milik pejabat dan bagi yang tidak menjabat akan menjadi sampah, bagi yang tidak loyal akan dibuang, ditendang bahkan kalau dianggap mengancam atau mengganggu bisa jadi dimatikan.bukan hanya dalam kariernya saja tetapi juga hidup dan penghidupanya. Dalam birokrasi model ini yang dipentingkan loyalitas bukan kinerja. Status disamakan ” baik jelek sama saja” yang penting siapa yang dekat pimpinan itu yang bagus dan yang tidak dikenal pimpinan ya jangan harap mendapat jabatan basah.

Kalau kita bertanya mengapa bisa demikian? Siapa yang salah ? akankah ini dapat berubah atau justru akan semakin parah?

Pejabat boleh silih berganti. Musim bisa saja terus berlalu dan berganti, namun bila nilai-nilai yang diyakini masih pada yang duniawi, yang materi, tanpa kesadaran, keberanian serta kerelaan dari yang berkuasa dan yang mempunyai kuasa untuk berubah atau mulai perubahan maka jangan harap ada titik terang, yang muncul justru sebaliknya kegelapan yang semakin kelam dan mendalam dan tak tahu ujung tujuan. Tauaian akan hanya hujatan dan cacaian, sumpah serapah. Kalau juga semua itu tetap dianggap biasa-bisa dan penguasanya juga orang-orang yang sudah terpola untuk basah dan kering.....entahlah......kutukan apa lagin akan menimpa......karma apa yang harus di derita.......allahualam.............................................................................................................

Jakarta 26 Maret 2007